CERPEN
Pertanyaan
Yang Tertunda
T
|
ak terasa waktu telah
berjalan hampir lima tahun. yah...selama lima tahun itu pula Rendi selalu dan
selalu mengingat omongan Yuli pada sore hari disaat detik-detik yang akan
memisahkan sekian banyak cerita yang telah terajut dimasa usia berbau kencur.
Disore hari yang cerah
Rendi dihadapi keadaan yang tak diinginkannya. Yuli sahabat dekatnya mendatangi
Rendi dengan sebuah pertanyaan yang menyakitkan.
"Ren.. besok pagi
aku dan keluargaku akan pindah ke Sulawesi, berarti kita akan terpisah oleh
waktu yang tak ter batas, kita tak bisa lagi bermain seperti hari-hari kemaren.
sebenarnya aku berat untuk ikut kedua orang tuaku, tapi mau bilang gimana lagi.
Memang kita sekarang bisa di bilang masih kecil untuk merasakan hal-hal yang
bisa dirasakan oleh orang-orang yang lebih dewasa, tetapi walaupun begitu aku
bisa melihat dari tatapan matamu bahwa kamu selama ini menyimpan pertanyaan
yang bakal kamu lontarkan padaku. walaupun aku tak tahu kapan kamu tanyakan
padaku tetapi aku selalu menunggu pertanyaan itu."Ucap Yuli.
Mendegar semua itu Rendi
hanya terdiam, lidahnya kelu, tatapan matanya hampa, Rendi tak tahu harus
bagaimana, apakah dia akan melontarkan pertanyaan itu atau terus menyimpannya,
sebab Rendi belum ada keberanian untuk melakukan apa yang dikatakan
dihati yang terdalam yang selama ini tersimpan rapi.
Lima tahun telah
berjalan. ada kabar bahwa yuli telah kembali kekampung halaman. degup
jantung yang sempat normal kini berdetak lebih kencang. "apakah aku akan
mengutarakan pertanyaan lima tahun lalu?" batin Rendi.
Kertas demi kertas
terlempar dari meja terus bersetubuh dengan ubin yng semakin dingin ditelan
angin malam yang berhembus dari jendela yang dibiarkan terbuka.
Walaupun pertanyaan
termakan waktu selama lima tahun tak membuat pertanyaan itu berkarat
malahan pertanyaan itu semakin semerbak tersiram api cinta dan ribuan nadi yang
bersemayam di tubuhnya.
Walaupun merambat
perlahan, makan terus termakan waktu sehingga berganti baju menjadi pagi.
Tampak Rendi tertidur
pulas dikursi dalam kamarnya, kepalanya tergeletak begitu saja diatas meja
beralaskan kertas-kertas yang penuh goretan demi goretan dari separuh pensil
yang teramat tua.
Tok…tok…tok… ada suara
ketukan dari balik daun pintu kamar Rendi, karena mata Rendi masih terpejam
disebabakan baru subuh tadi ia bisa tertidur, sehingga membuat telinganya tak
mendengar ketukan tersebut.
Sepasang kaki yang
jenjang dari sipemilik suara ketukan tersebut masuk dengan gemulai.
“Ren.. Ren.. Rendi… bangun.”
Dengan bermalas-malas ria
Rendi mengucek-ngucek kedua matanya.
“Ahh.. siapa sih ganguin
aku se pagi gini!”
“Ren sekarang hari sudah
siang.”
Sepasang tangan
menggoyang-goyang pundak Rendi agar segera bangun.
“Coba lihat sekarang
sudah jam sebelas.” Sambil berkata begitu sepasang kaki yang jenjang tersebut
membuka hordeng, tampak dari balik kaca jendela cahaya matahari masuk menerobos
ruang kamar Rendi yang berantakan.
“sudah jam sebelas?” tanya
Rendi tersentak, segera ia membuka kedua bola matanya yang masih terasa berat.
“Ha..!! kamu kah itu?”
“Bener Ren, ini aku Yuli.”
“Kapan kamu pulang? Trus kok
kamu ada dalam kamarku?”
“Aku pulang kemarin. Tadi
ibumu yang menyuruh aku kesini membangunkanmu.”
“Ren.. selama lima tahun
aku menunggu pertanyaan dari sorot matamu, tetapi sampai sekarang tak kunjung
jua pertanyaan itu terlontar dari mulutmu. Aku tahu kamu mencintai diriku
selama ini, makannya aku pingin ngejawab pertanyaan itu. Sebenarnya aku juga
mencintaimu Ren.” Sambil berkata begitu Yuli mendekati Rendi dan mengecup kedua
pipi Rendi yang masih tampak bingung, sebingung goretan-goretan dikertas yang
bergeletakan dilantai kamarnya.
Rendi menggurat-guratkan
jemari keatas selembar kertas. Entah apa yang digoreskan dengan sepotong pensil
yang hampir habis dimakan masa usianya.
Kadang-kadang dari
goretan tersebut sekilas tampak seperti gambar orang yang sedang tertawa, atau
goretan yang lainnya seperti cacing yang kebingungan, sebingung pikiran Rendi
pada saat itu.
Dikutip dari sebuah buku goretan
Remaja